Kamis, 12 Mei 2011

KEUNTUNGAN SLI “SLI BANGUN KECERDASAN PETANI TERHADAP IKLIM”


Perubahan iklim secara global, regional, dan lokal yang terjadi saat ini dipengaruhi adanya pemanasan global yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia diberbagai  sektor.  Salah satu sektor yang menerima dampak negatif dari perubahaan iklim, yaitu sektor perrtanian. Lantas mengapa fenomena ini sering meghantui petani? Di lain sisi, kita telah memiliki  teknologi yang  sanggup dan mampu membaca musim.

 Perubahan iklim global akan mempengaruhi tiga unsur iklim dan beberapa unsur yang berkaitan dengan pertanian, yaitu: naiknya suhu udara yang berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer; berubahnya pola curah hujan; meningkatnya intensitas kejadian ekstrim (anomali iklim) seperti El- Nino dan La-Nina; dan naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara. 

Global warming akibat perubahan iklim menyebabkan penciutan dan fluktuasi luas tanam serta memperluas areal pertanaman yang akan gagal panen, terutama tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya. Peningkatan permukaan air laut tak hanya menciutkan luas lahan pertanian, tetapi juga akan meningkatkan salinitas (kegaraman) tanah di sekitar pantai yang bersifat racun sehingga dapat menganggu fisiologis dan fisik pada tanaman. Pada tanaman padi, salinitas berkaitan dengan keracunan logam berat, terutama Fe (besi) dan AI (alumunium).

Perubahan iklim global akan berdampak terhadap pergeseran pola musim, sementara informasi prediksi akhir musim hujan atau awal musim kemarau sangat diperlukan untuk menentukan musim tanam, komoditas apakah yang akan ditanam?Dan kapan mulai tanam?

MITIGASI FENOMENA IKLIM UNTUK PETANI

Fenomena iklim yang sering terjadi dan membawa kerugian bagi petani, menyadarkan kita betapa pentingnya informasi tentang iklim terhadap petani untuk meningkatkan kepedulian akan dampak perubahan iklim, pemahaman terhadap perilaku iklim (hujan) dan upaya penyesuaian pola dan jadwal tanam .

Namun, ironisnya kejadian fenomena iklim ini  hanya  dibiarkan saja seperti angin lalu sehingga banyak masalah yang muncul di bidang pertanian yang marak menghiasi media massa. Pemangku kepentingan seperti Pemerintah Daerah sering menyatakan ketidaksanggupannya dalam mengatasi persoalan yang terjadi.  Mereka justru menjadikan iklim sebagai biang keladi.

Di balik itu semua, ironisnya kondisi yang ditimbulkan akibat kekeringan hanya menjadi data bisu. Celakanya, Pemerintah Daerah sering kali secara langsung menyatakan ketidaksanggupannya dalam menghentikan masalah kekeringan. Malahan, memosisikan iklim sebagai tersangka tunggal dalam bencana kekeringan.  Ketidakberdayaan manusia terhadap cuaca atau iklim memang disepakati, tetapi seharusnya cuaca atau iklim justru memberi ruang yang cukup luas kepada manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya lewat pendayagunaan teknologi.

Ketika bencana kekeringan dan banjir melanda, perlu adanya perilaku iklim dan upaya penyesuaian pola dan jadwal tanam. Sadarkah kita yang selalu menuduh Iklim sebagai musuh? Malahan iklim memberikan lahan kesejahteraan bagi kita lewat teknologi yang ada.  

MELALUI SLI, PETANI SIASATI IKLIM

Petani dan pemerintah menganggap pola iklim sebagai suatu fenomena yang sering terjadi dari tahun ke tahun. Fenomena ini membawa bencana bagi petani, kenapa tidak?pertanyaan ini menyadarkan kita akan banyaknya kerugian yang dialami petani akibat kekeringan dan banjir.

Masalah gagal panen sering kita dengar dan lihat di media massa. Tentunya, ini merupakan suatu gambaran ketidaksiapan petani dalam menghadapi fenomena iklim, seperti El-Nino dan La-Nina yang menyebabkan mereka mengalami gagal panen. Gagal panen mengakibatkan penurunan produksi petani, malahan dapat menurunkan produksi pangan sehingga mengganggu ketahanan pangan nasional (food security). Masalah ini dapat diatasi melalui pemberian keterampilan dan wawasan sehingga mereka dapat bersikap arif terhadap perilaku iklim.

Sekolah lapang iklim (SLI) merupakan solusi tepat menjawab tantangan ini karena melalui SLI, petani dapat mampu membaca kondisi iklim serta kearifan lokal untuk melaksanakan budidaya pertanian spesifik lokasi agar dapat meminimalisir penurunan produksi akibat dampak fenomena iklim (banjir dan kekeringan).

Akhi-akhir ini, institusi seperti Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air, Dinas Pertanian Daerah, Kementerian Pertanian dan BMKG telah melakukan kegiatan sekolah lapang iklim. BMKG sendiri telah  memulai melakukan kegiatan Sekolah Lapang Iklim di tahun 2010.

BMKG bekerjasama dengan pemerintah Australia (AusAid) telah melakukan SLI dengan tiga tahap (Tahap I, II, dan III) di  daearah Lombok, NTB, Kupang, NTT dan Indramayu, Jabar. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman petani dalam memanfaatkan informasi iklim di wilayah kerjanya, meminimalisasi resiko kegagalan pertanian akibat fenomena iklim/cuaca, dan memasyarakatkan SLI kepada petani secara langsung sehingga pengetahuan iklim di tingkat petani meningkat.

Pada kegiatan SLI, petani diberikan pemahaman tentang cuaca dan iklim, cara pencegahan dan pengendalian hama serta penyakit tanaman, menilai arti ekonomi informasi prakiraan musim, dan mengenali ekologi tanah. Selain itu, mereka juga diberi kesempatan untuk praktek lapangan dalam hal pengukuran suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, serta pengamatan pertumbuhan tanaman dan hama/ penyakit.

Berkaca dari pengalaman petani yang mengikuti kegiatan ini, SLI sebagai suatu solusi mengatasi kebodohan petani terhadap fenomena iklim. SLI membangun petani lebih pintar dan bijak terhadap perilaku iklim.






                                                                                



Tidak ada komentar:

Posting Komentar